Curhat RA Kartini dan Kecintaannya pada Islam
Minggu, 21 April 2013, 06:23 WIB
.
REPUBLIKA.CO.ID, Teguh Setiawan/Wartawan Senior Republika
Curhat RA Kartini dan Kecintaannya pada Islam
Dalam suratnya kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, RA Kartini menulis;
Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam
melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi
pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku
dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh
memahaminya?
Alquran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke
dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak
ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi
tidak memahami apa yang dibaca.
Aku pikir, adalah gila orang
diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya
engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi
artinya.
Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?
RA Kartini melanjutkan curhat-nya, tapi kali ini dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim ke Ny Abendanon.
Dan
waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa
perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar
menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku
mengerti artinya.
Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti
artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari
apa saja. Aku berdosa. Kita ini teralu suci, sehingga kami tidak boleh
mengerti apa artinya.
Namun, Kartini tidak menceritakan
pertemuannya dengan Kyai Sholeh bin Umar dari Darat, Semarang -- lebih
dikenal dengan sebutan Kyai Sholeh Darat. Adalah Nyonya Fadhila
Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat, yang menuliskan kisah ini.
Takdir,
menurut Ny Fadihila Sholeh, mempertemukan Kartini dengan Kyai Sholel
Darat. Pertemuan terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak
Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya.
Kyai Sholeh Darat
memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertegun.
Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari
sosok Kyai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang
disampaikan sang penceramah.
Ini bisa dipahami karena selama ini Kartini hanya tahu membaca Al Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.
Setelah
pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai
Sholeh Darat. Sang paman tak bisa mengelak, karena Kartini
merengek-rengek seperti anak kecil. Berikut dialog Kartini-Kyai Sholeh.
"Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?" Kartini membuka dialog.
Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama. "Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?" Kyai Sholeh balik bertanya.
"Kyai,
selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al
Fatihah, surat pertama dan induk Alquran. Isinya begitu indah,
menggetarkan sanubariku," ujar Kartini.
Kyai Sholeh tertegun.
Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela. Kartini melanjutkan;
"Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran
mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran
Al Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al Quran adalah bimbingan
hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?"
Dialog berhenti
sampai di situ. Ny Fadhila menulis Kyai Sholeh tak bisa berkata apa-apa
kecuali subhanallah. Kartini telah menggugah kesadaran Kyai Sholeh
untuk melakukan pekerjaan besar; menerjemahkan Alquran ke dalam Bahasa
Jawa.
*Tetapi pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang
menerjemahkan al-Qur’an. Mbah Sholeh Darat melanggar larangan ini,
Beliau menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf “arab gundul”
(pegon) sehingga tak dicurigai penjajah.
Kitab tafsir dan
terjemahan Qur’an ini diberi nama Kitab Faidhur-Rohman, tafsir pertama
di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Kitab ini pula yang
dihadiahkannya kepada R.A. Kartini pada saat dia menikah dengan R.M.
Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang. Kartini amat menyukai hadiah itu
dan mengatakan:
“Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya
tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi
terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah
menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.”
{inilah
dasar dari buku “Habis gelap terbitlah terang” bukan dari sekumpulan
surat menyurat beliau,.. sejarah telah di simpangkan, (penulis red)}.
Melalui terjemahan Mbah Sholeh Darat itulah RA Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya yaitu:
Orang-orang beriman dibimbing Alloh dari gelap menuju cahaya(Q.S. al-Baqoroh: 257).
Dalam banyak suratnya kepada Abendanon, Kartini banyak mengulang kata
“Dari gelap menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: “Door
Duisternis Toot Licht.” Oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan
menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang,” yang menjadi judul untuk buku
kumpulan surat-menyuratnya.*
Setelah pertemuan itu, Kyai Sholeh menerjemahkan ayat demi
ayat, juz demi juz. Sebanyak 13 juz terjemahan diberikan sebagai
hadiah perkawinan Kartini. Kartini menyebutnya sebagai kado pernikahan
yang tidak bisa dinilai manusia.
Surat yang diterjemahkan Kyai
Sholeh adalah Al Fatihah sampai Surat Ibrahim. Kartini mempelajarinya
secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. Sayangnya, Kartini
tidak pernah mendapat terjemahan ayat-ayat berikut, karena Kyai Sholeh
meninggal dunia.
Kalau saja Kartini sempat
mempelajari keseluruhan ajaran Islam (Al-Quran) maka tidak mustahil ia
akan menerapkan semaksimal mungkin semua hal yang dituntut Islam
terhadap muslimahnya. Terbukti Kartini sangat berani untuk berbeda
dengan tradisi adatnya yang sudah terlanjur mapan.
*Kartini juga
memiliki modal kehanifan yang tinggi terhadap ajaran Islam. Bukankah
pada mulanya beliau paling keras menentang poligami, tapi kemudian
setelah mengenal Islam, beliau dapat menerimanya.
Saat
mempelajari Al-Islam lewat Al-Quran terjemahan berbahasa Jawa itu,
Kartini menemukan dalam surat Al-Baqarah ayat 257 bahwa ALAH-lah yang
telah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya
(Minazh-Zhulumaati ilan Nuur). Rupanya, Kartini terkesan dengan
kata-kata Minazh-Zhulumaati ilan Nuur yang berarti dari gelap kepada
cahaya. Karena Kartini merasakan sendiri proses perubahan dirinya, dari
pemikiran tak-berketentuan kepada pemikiran hidayah. Dalam banyak
suratnya sebelum wafat, Kartini banyak sekali mengulang-ulang kalimat
“Dari Gelap Kepada Cahaya” ini. Karena Kartini selalu menulis suratnya
dalam bahasa Belanda, maka kata-kata ini dia terjemahkan dengan “Door
Duisternis Tot Licht”. Karena seringnya kata-kata tersebut muncul dalam
surat- surat Kartini, maka Mr. Abendanon yang mengumpulkan surat-surat
Kartini menjadikan kata-kata tersebut sebagai judul dari kumpulan surat
Kartini . Tentu saja ia tidak menyadari bahwa kata-kata tersebut
sebenarnya dipetik dari Al-Quran. Kemudian untuk masa-masa selanjutnya
setelah Kartini meninggal, kata-kata Door Duisternis Tot Licht telah
kehilangan maknanya, karena diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan
istilah “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Memang lebih puitis, tapi justru
tidak persis.
*
Kyai Sholeh membawa Kartini ke perjalanan
transformasi spiritual. Pandangan Kartini tentang Barat (baca: Eropa)
berubah. Perhatikan surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny
Abendanon.
Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat
Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah
ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal
bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang
sama sekali tidak patut disebut peradaban.
Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.
Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis;
Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini
kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja
membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.
Lalu dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis; "Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.
(Dari berbagai sumber)
Subhanallah, andai saja
kartini sempat membaca terjemahan Al Qur’an sampai surat yang
memerintahkan berhijabc(Al-ahzab:33) insyaallah foto kartini sekarang
itu akan mengenakan jilbab”.
*telah di sunting kembali oleh saudara kami
Redaktur : Heri Ruslan